Polemik kepemilikan properti oleh orang asing atas properti di Indonesia
sepertinya harus dihentikan. Pihak yang diuntungkan dari polemik
tersebut justru pengembang asing, yaitu dari bertumbuhnya jumlah kelas
menengah Indonesia dengan kemampuan untuk berinvestasi di sektor
properti.
Menurut Head of Marketing Crown Group di Indonesia, Michael Ginarto,
jumlah investor Indonesia yang membeli properti di Australia merupakan
terbesar kedua setelah China. Indonesia perlu mengambil contoh dari
sini.
"Dari jumlah total properti yang terbangun, sebanyak 50
persen sampai 60 persen dipasarkan di luar Australia. Indonesia menyerap
sekitar 20 sampai 30 persennya," ujar Michael kepada Kompas.com di Jakarta, Selasa (28/5/2013).
Berbeda dengan Indonesia yang masih "mengharamkan" asing memiliki properti,
Australia justru mendorong pembeli mancanegara memiliki propertinya.
Pemerintah Negeri Kanguru ini, khususnya Negara Bagian New South of
Wales,
bahkan menggelar "karpet merah" berupa potongan pajak transaksi
properti (stamp duty) sebesar 5.000 dolar Australia dari 4 persen yang
dikenakan atas total nilai transaksi.
Selain itu, ini yang utama, asing memiliki hak kepemilikan dengan status free hold atas properti Australia yang mereka beli. Status free hold ini
sama kekuatan hukumnya dengan sertifikat hak milik. Jika diasumsikan
20 persen dari 1.000 unit properti dengan harga Rp 7 miliar dibeli orang
Indonesia, maka pengembang Australia mendapat pemasukan Rp 1,4 triliun.
Sekadar informasi, harga Rp 7 miliar untuk apartemen tipe 2 kamar tidur
merupakan favorit pembeli Indonesia.
Konsultan properti dari Boss Properti Indonesia, Dendy Opit mengatakan, "Cepat atau lambat keran kepemilikan asing pasti akan dibuka di Indonesia, karena kebijakan saat ini berlawanan dengan trend Pasar bebas". Beberapa proyek properti seperti Jakarta Garden City, yang sempat dikembangkan oleh Keppel Land dari Singapura, menjadi sangat ranum karena dibangun untuk selera asing.